Loading Now

Politik sebagai Jalan Ibadah: Refleksi atas Pemikiran M.Natsir

Mohmmad NatsirSebagai muslim kita sering kali merenungkan bagaimana nilai-nilai agama bisa diintegrasikan ke dalam kehidupan sehari-hari, termasuk di ranah politik. Mohammad Natsir, salah satu tokoh penting dalam sejarah Indonesia. Beliau digambarkan sebagai ulama yang memandang politik bukan sebagai tujuan akhir, melainkan sebagai alat untuk ibadah. Ini benar-benar membuka mata kita.

Kita semua setuju bahwa M.Natsir adalah contoh luar biasa. Ia bukan hanya pemikir, tapi juga praktisi. Ketika ia menjabat Perdana Menteri pada 1950-an, ia tidak pernah lupa bahwa kekuasaan adalah amanah dari Allah. M.Natsir sering mengutip ayat Al-Qur’an seperti “Dan janganlah kamu memakan harta orang lain dengan cara yang batil” (QS. An-Nisa: 29) untuk menekankan pentingnya kejujuran dalam politik.

Ini membuat kita berpikir, apakah para politikus sekarang masih ingat ayat-ayat itu? Di era digital ini, politik sering kali diwarnai oleh hoaks dan fitnah, yang jelas bertentangan dengan prinsip dakwah untuk menyebarkan kebenaran.

Dari sudut pandang dakwah, politik Natsir adalah bentuk dakwah yang paling efektif. Dakwah bukan cuma ceramah di masjid, tapi juga aksi nyata. M.Natsir mendakwahkan Islam melalui kebijakan yang adil, seperti memperjuangkan kemerdekaan dan menolak federalisme yang bisa memecah bangsa.

Sesuai dengan apa yang M.Natsir lakukan: menggunakan posisi untuk kebaikan bersama. Bayangkan jika lebih banyak politikus seperti M.Natsir, Indonesia tidak akan sering dilanda korupsi atau polarisasi.

Tapi, ada tantangan besar. Dalam sebuah artikel disebutkan bahwa Natsir mundur dari jabatan demi kemaslahatan bangsa. Itu pengorbanan tinggi! Kita sering kali merasa frustrasi melihat politikus yang bertahan di kursi meski sudah tidak efektif.

M.Natsir mengajarkan bahwa ibadah politik harus didasari niat ikhlas, bukan ambisi duniawi. Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman, “Barangsiapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di sini tidak akan dirugikan” (QS. Hud: 15). Tapi, M.Natsir memilih jalan yang lebih mulia: kehidupan akhirat.

Relevansi ini sangat kuat di zaman sekarang. Dengan maraknya politik identitas dan uang, kita butuh lebih banyak tokoh seperti M.Natsir. Sebagai muslim kita belajar bahwa dakwah harus inklusif, tidak memecah belah. Natsir membuktikan itu dengan bekerja sama lintas agama dan golongan. Ia pernah berkata, “Islam adalah rahmat bagi seluruh alam,” yang berarti politiknya harus membawa kedamaian, bukan konflik.

Siapa saja yang membaca ini mari kita merenung. Apakah politik yang kita lihat hari ini masih sebagai alat ibadah? Mari kita mulai dari diri sendiri. M.Natsir telah meninggalkan warisan yang tak lekang waktu: integritas dan pengabdian. Jika kita ikuti jejaknya, Indonesia bisa lebih baik. Semoga artikel ini bisa menjadi pengingat bahwa politik sejati adalah ibadah yang mendekatkan kita pada Allah.

Kontributor: Zakariya Abdul Halim (Mhs ADI Kota Bogor)

Silakan Share...